18 Juni 2021 sekolah waldorf

Ini Alasan Para Petinggi Google, Apple, Hewlett Packard Memasukkan Anak-anaknya ke Sekolah Waldorf

 

Sudah jamak kita melihat banyak anak didekatkan dengan gadget. Dalam kondisi yang lebih parah, tidak sedikit yang merasa kecanduan dengan permainan games, Youtube, dan sejenisnya. Tampaknya, tidak sedikit orang tua hanya pasrah dengan kondisi ini karena belum menemukan solusinya.

 

Sebaliknya, dari Silicon Valley, tempat menyemaikan perusahaan-perusahaan raksasa teknologi terdengar kabar yang mengejutkan. Para petinggi perusahaan teknologi justru memasukkan anak-anak ke sekolah yang lebih dekat ke nuansa tradisional dan alam. Anak-anak mereka dimasukkan ke sekolah Waldorf. Mereka adalah anak-anak para petinggi Google, Apple, dan Hewlett Packard.

 

Anak-anak mereka justru bermain dengan tanah di sekolah yang sama sekali tidak ditemukan laptop atau gadget. Kita akan menjumpai anak-anak yang sibuk melukis dengan cat air, membuat patung dari lilin (beeswax), mendengarkan story telling dari guru, bernyanyi, dan bermain dengan nuansa alamiah. Di tengah Silicon Valley sekolah ini semacam rujukan untuk pendidikan pada usia dini.

 

Sama sekali di sekolah Waldorf ini tidak ada sentuhan teknologi seperti yang kita bayangan ketika mendengar kata Silicon Valley.

Lalu, apa saja alasan mereka menyekolahkan anak-anak ke dalam pendidikan Waldorf?

Satu alasan yang utama, anak-anak belum perlu dikenalkan pada teknologi di usia dini. Tidak perlu terburu-buru melakukan hal ini kepada anak-anak. Pengenalan teknologi dan gadget bisa ditunda di usai dini. Teknologi bisa dengan cepat dikenalkan kepada mereka ketika mereka telah cukup umur.

Dilansir oleh Nytimes.com, pendidikan Waldorf merupakan sistem sekolah yang didasarkan pada filosofi bahwa seni dan imaginasi menjadi yang utama. Tidak hanya melibatkan kegiatan kognitif, namun menyentuh keseluruhan dan keutuhan pendidikan: tangan, hati, dan kepala.

 

BACA JUGA Mengenal Pendidikan Waldorf, Mendidik Anak Melalui Tangan, Hati, dan Kepala

sekolah waldorf
Foto dokumen: Jagat Alit Bandung

 

Bagaimana wujud keseharian di dalam sistem pendidikan Waldorf?

Menurut Kenny Dewi (@kennysidkar) penggerak di dalam Asosiasi Waldorf Steiner Indonesia, menyampaikan:

Pendidikan Waldorf, sebuah konsep pendidikan yang memanusiakan manusia. Pendidikan yang tidak hanya mengedepankan aspek intelegensia saja melainkan juga aspek karsa dan rasa.

Pendidikan yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan, seni, dan spiritual. Sebuah konsep yang dapat mengembalikan makna pendidikan yang hakiki. Pendidikan yang dapat menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi generasi milenial melalui sebuah perjalanan pendidikan yang penuh makna.

Ibu Kenny Dewi, sebelum menerapkan ilmu pendidikan Waldorf di Indonesia melalui playgroup dan taman kanak-kanak Waldorf pertama di Indonesia, yaitu Jagad Alit Waldorf Play & Kinder (@jagadalitwaldorf_playkinder) yang berada di kota Bandung Jawa Barat, ia berkeliling ke berbagai negara untuk memperdalam ilmunya. Antara lain: menghadiri ‘Steiner Waldorf Early Childhood Teacher Training’ di Bangkok Thailand tahun 2013-2016, ‘Early Childhood Conference’ di kota Hastings Selandia Baru tahun 2017, Waldorf 100 – World Early Childhood Conference di kota Dornach Swiss tahun 2019, serta sekolah Waldorf di luar negeri.

 

Kenny Dewi akan membagikan pengalaman dalam mengelola Waldorf pada buku Bermain dan Belajar untuk Bertumbuh Melalui Pendidikan Waldorf-Mengenal Pendidikan Waldorf untuk Anak Usia 3-7 Tahun (Prasekolah). Buku dengan ukuran 19×19 cm dan memiliki jumlah 216 halaman dengan cetakan warna ini dijual seharga Rp148.000. Bisa didapatkan melalui program prapesan (pre order) mulai 26 Juni hingga 2 Juli 2021. Peserta pre order juga akan mendapatkan kesempatan mengikuti webinar bersama Kenny Dewi. Informasi pemesanan bisa diperoleh melalui akun Instagram @_anakkita

 

 

 

Sumber: Nytimes

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *